Sekarang ini sedang demam start up dimana-mana, tapi tahukah Anda sembilan dari 10 startup yang ada saat ini berujung dengan kegagalan. Hanya sedikit saja yang menjadi Unicorn.
Banyak yang berhasil membuat aplikasi platform yang menurut pendirinya sudah sangat keren padahal tidak terlalu dibutuhkan dan diinginkan masyarakat. Lebih parah lagi sudah terlanjur merekrut orang, keluar biaya operasional yang besar dan akhirnya gagal.
Itulah sebabnya materi kali ini kita akan membahas tentang lean statr up, atau start up yang ramping.
Istilah lean start up pertama kali diperkenalkan oleh Eric Ries dalam bukunya Lean Start Up.

Start up dalam bahasa Indonesia disebut sebagai perusahaan perintis, namun oleh Eric start up didefinisikan sebagai institusi manusia yang dirancang untuk menciptakan produk atau layanan baru di tengah kondisi yang tidak pasti atau ekstrim.

Ternyata lingkungan bisnis pun juga serba tidak pasti. Ada alasan kenapa Reis menekankan pada “Institusi manusia”, yaitu karena sebuah start up jauh lebih dari sekedar ide, teknologi, atau produk. Aktifitas start up yang paling susah justru mengelola manusia yang ada didalamnya, seperti merekrut bakat, mengelola tim, dan membangun budaya yang kuat untuk untuk keberhasilan start up.
Kata kedua yang juga penting adalah produk. Start up harus punya produk yang bernilai bagi customer. Itulah sebebnya penting bagi start up untuk segera mengetahui secepat mungkin produk apa sebenarnya yang dibutuhkan customer. Karena pada akhirnya produk atau fitur bisnis yang tidak dibutuhkan konsumen adalah bentuk pemborosan.
Kata kunci ketiga terkait ketidakpastian pasar, artinya start up perlu eksperimen untuk segera memastikan apa sebetulnya yang benar-benar dinginkan customer. Mengamati, berinteraksi dan menguji produk atau layanan Anda pada customer adalah bagian penting dari metode Lean Startup ini.
Sebelum melakukan ekserimen, start up perlu mengembangkan hipotesis. Ada dua jenis Hipotesis yang harus dikembangkan, yaitu:
- Value Hypotheses (hipotesis nilai)
Value hypothesis adalah untuk menanyakan apakah suatu produk atau layanan punya nilai manfaat bagi pelanggan.

Nilai manfaat tidak hanya diukur dari segi uang. Namun juga bisa diukur dengan waktu dan energi yang harus dikeluarkan pelanggan. Contohnya Gojek, bukan hanya murah tapi juga praktis dan ga bikin capek.

Start up juga tidak harus kemudian berusaha memenuhi semua customer. Reis menekankan istilah Minimum Viable Product atau MVP adalah sekumpulan fitur minimum yang benar benar dibutuhkan dan harus secepatnya diuji pada customer.

- Growth hypothesis adalah hipotesis pertumbuhan menanyakan bagaimana perusahaan nantinya akan tumbuh.
Untuk bisa bertumbuh ada 3 jenis mesin pertumbuhan atau Engines of Growth yang bisa dipakai:
- Sticky engine yaitu sampai sejauh apa kita mampu menarik customer dan membuatnya lengket dan tidak berpindah ke lain hati. Laju pertumbuhan atau growth rate bisa diukur dari Customer Acquisition Rate dikurangi Churn Rate. Misal start up yang punya 100 customer, memiliki acquisition rate 40 %. Jika ia mampu merekrut 40 customer baru dan churn rate 15 % jika ia kehilangan 15 customer lama. Jadi, pada kondisi ini laju pertumbuhan adalah 25%.

- Viral engine : virus oral pertumbuhan ekponensial yang didorong oleh customer yang menyebarkanluaskan kebaikan produk kita dari mulut ke mulut.

Untuk mengukurnya emnggunakan koefisien viral (Viral Coefficient) yang dihitung dari membagi jumlah pertambahan customer baru dibagi dengan customer yang ada saat ini.

Jika 10 customer yang dimiliki saat ini mampu mengajak 4 customer baru, maka nilai viral coefficient adalah 0,4.
- Paid engine atau mesin berbayar, ini terkait seberapabanyak uang yang kita keluarkan untuk mendapatkan customer baru. Ada ukuran yang disebut Cost Per Acquisition (CPA) = Advertising Cost / Customers.
Ada istilah yang lain yaitu Acquired Customer Lifetime Value (LTV) = Lifetime Customer Revenue –Variable Cost to Serve
Misalnya sebuah start up yang menghabiskan Rp 100.000 untuk mendapatkan 20 customers baru, memiliki CPA sebesar Rp 5000. Jika setiap customer belanja sebesar 50.000 dan variable cost adalah 20 000, maka rerata keuntungan marginal yang kita dapatkan adalah 25.000.

Untuk menguji kedua hipotesis tersebut kita perlu melakukan eksperimen. Dalam lean start up, ekperimen jauh lebih penting daripada riset pasar. Ada beberapa alasan mengapa melakukan eksperimen lebih penting daripada riset pasar, yaitu:
- Studi dan survei pasar tidak akurat. Banyak pelanggan yang tidak tahu apa yang mereka inginkan. Seperti yang dikatakan Henry Ford, “if i had asked people waht they wanted, they would have said faster horses.”

- Proses eksperimen lebih cepat dan murah untuk mendapatkan feedback/umpan balik pelanggan daripada riset pasar.
- Eksperimen memungkinkan kita berbicara langsung dengan customer dan mempelajari apa kebutuhan mereka secara lebih mendalam.
- Eksperimen yang sukses dapat menjadi prototipe awal produk kita. Ketika produk siap diluncurkan, sudah akan ada customer yang tahu dan mendukung produk kita.

Kita juga tidak boleh melakukan eksperimen yang sembarangan. Ada teknik yang disebut sebagai validated learning ataupPembelajaran yang tervalidasi, yaitu penggunaan metode ilmiah dalam menguji hipotesis dan ukuran yang jelas, dengan matriks kunci atau key matrix. Tujuannya untuk mengurangi pemborosan.

Dengan menggunakan ukuran yang jelas ini, start up bisa melakukan koreksi jika ternyata hipotesis awal tidak terbukti. Koreksi ini yang oleh Reis disebut sebagai pivot yang didefinisikan sebagai koreksi langkah yang terstruktur dirancang untuk menguji hipotesis terkait produk, strategi atau mesin pertumbuhan.

Koreksi ini yang akan menjadi bagian penting proses pembelajaran kita untuk terus memperbaiki start up kita.
Membangun lean statr up dapat disimpulkan dengan 3 kata, yaitu Build, Measure dan Learn.
- Build artinya segera bangun ide kamu dari mimpi dan bergerak untuk membuat produk dengan murah dan cepat.

- Measure atau ukur, artinya semua inisiatif itu harus ada ukurannya, bagaimana customer merespon produk kita.

- Learn artinya terus belajar dan memperbaiki diri dari setiap masukan customer. Jangan ragu-ragu untuk melakukan pivot atau balik arah jika ternyata produk kita tidak benar benar disukai customer.
Pada akhirnya membangun start up itu bukan seperti proses mengirim roket ke bulan, dimana semua perencanaan harus detil, lengkap dan komprehensif, tapi mungkin lebih tepat seperti menyetir mobil, tancap gas dulu tapi harus fokus dan siap jika sewaktu waktu harus injak rem atau mengubah arah.

Sama saja pasangan yang mau menikah, tidak perlu ribet sampai semuanya sempurna. Jalani saja, karena menikah adalah proses untuk saling menyempurnakan kehidupan bersama sama.